Sabtu, 14 April 2018

Bangunan Cagar Budaya Gedung Cornelis

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Sejarah Gedung Cornelis


     Jika menilik masa lalu, keberadaan sebuah gedung memiliki nilai utilitas yang tinggi. Tidak hanya itu, sejak dulu sebuah gedung sering menjadi penanda kota yang pada akhirnya menjadi ikon dari sebuah kota. Apalagi jika gedung tersebut memiliki sejarah penting, maka sosoknya tidak akan bisa lepas dari keberadaan kota tersebut.
     Tak heran jika mengingat kawasan Kota Tua di Jakarta Barat, orang akan terbayang dengan keberadaan Museum Fatahillah. Dan jika menyebut kawasan Pasarbaru Jakarta Pusat, yang terlintas dipikiran adalah sebuah gedung megah bekas markas kantor berita Antara, yang kini berubah fungsi menjadi Gedung Kantor Pos Besar atau Museum Fotografi.
     Begitu juga dengan kawasan Jatinegara, tidak akan bisa lepas dari keberadaan gedung tua berarsitektur colonialpeninggalan Meester Cornelis. Terletak di Jalan Raya Bekasi Timur, tak jauh dari Stasiun Kereta Api Jatinegara, Jakarta Timur, nama Meester Cornelis begitu melekat di gedung ini. Sejarahwan mengatakan, di gedung inilah, dulunya sang Meester pernah tinggal dan menetap. Meester Cornelis sendiri adalah nama seorang guru agama yang pertama kali membangun dan mengembangkan kawasan Jatinegara.

     Cornelis merupakan anak keluarga kaya asal pulau Lontar, Banda, Maluku yang datang ke kawasan Jatinegara pada sekitar abad ke-17. Cornelis dikenal sebagai guru agama Kristen dan membuka sekolah pada 1635. Sosoknya yang terkenal bersahaja sebagai guru itulah yang membuat Cornelis disebut ‘Meester’ yang artinya adalah tuan guru oleh masyarakat sekitar.
     Namun seiring perkembangannya, nama ‘Meester’ berubah menjadi ‘Mester’. Mengikuti pelafalan dari masyarakat sekitar. Tahun 1661, Mester membeli sebidang tanah di sekitar aliran sungai Ciliwung, Jatinegara. Ia juga mendapatkan hak istimewa dari VOC untuk memperluas kawasan tersebut dengan menebangi pohon-pohon jati yang banyak tumbuh subur pada saat itu. Sejak itu, Mester mengembangkan tanah miliknya untuk menjadi kawasan perdagangan. Pada tahun 1875, karena perkembangan wilayah Mester yang pesat, dibangunlah jalur kereta yang menghubungkan Mester (Jatinegara) dengan Kota Intan (Jakarta Kota).
     Selain itu,  Mester juga menjadi salah satu kawasan yang dilewati pembangunan jalur Anyer-Panarukan yang dibangun Daendels untuk pembangunan perekonomian Pulau Jawa. Perkembangan sarana transportasi tersebut membuat kawasan Mester menjadi semakin ramai dan berkembang secara ekonomi sebagai kawasan perdagangan.
     Kemudian, pada abad ke-19, Mester menjadi salah satu kawasan yang dijadikan Gemeente (Kota Praja) oleh Pemerintah Hindia-Belanda untuk pelaksanaan otonomi daeah. Hingga pada 1 Januari 1963, Gemeente Mester digabungkan menjadi Gemeente Batavia.
     Tanah luas milik Mester ini kemudian berganti nama mejadi Jatinegara sepeninggalan pemerintahan Belanda yang digantikan oleh pemerintahan Jepang sejak tahun 1942. Pergantian nama tersebut adalah untuk menghilangkan identitas Belanda. Karena nama Mester dianggap terlalu bernuansa Belanda oleh pemerintah Jepang. Asal mula nama Jatinegara sendiri berarti ‘Negara yang sejati’. Namun versi lain mengatakan nama Jatinegara diambil karena wilayah tersebut dulunya merupakan hutan Jati yang lebat sebelum dibuka oleh Mester.
Azhar Rahman
21314920
4TB06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar