PENYIMPANGAN DALAM PROYEK PEMBANGUNAN
SEKITAR PERTANGGUNG JAWABAN ATAS PENYIMPANGAN DALAM PROYEK
PEMBANGUNAN
Proyek Pembangunan merupakan perbuatan
hukum yag dilakukan oleh orang atau badan usaha atas dasar kesepakatan atau
perjanjian (kontrak) dalam suatu waktu dan tempat tertentu, melaksanakan atau
mengerjakan sesuatu kegiatan untuk meyelesaiakan suatu bangunan fisik
atau mengadakan suatu barang tertentu atau jasa tertentu yang dibutuhkan oleh
suatu pengguna barang/jasa (instansi pemerintah).
Bahwa penyimpangan dimaksud adalah dalam
kategori normal dalam artian batas toleransi masih dimungkinkan baik dari segi
moral-etik maupun normatif, sedangkan penyimpangan tidak normal dimaksud adalah
baik dari segi moral-etik maupun normatif tidak memungkinkan adanya batas
toleransi yang justru sebaliknya memungkinkan penghukuman pidana
(punishmen) oleh lembaga peradilan.
Bahwa di satu segi, penyelenggaraan atau pelaksanaan suatu proyek, khususnya pembangunan fisik berupa bangunan gedung, maka terdapat tiga pihak perancang dan perekayasa bangunan yaitu : Kontraktor Perencana, kontraktor Pelaksana dan kontraktor Pengawas, yang masing-masing diharapkan secara sinergi dan profesional juga transparan serta responsibility dalam melaksanakan kegiatannya untuk mencapai tujuan akhir yang sama, yaitu berdirinya bangunan tertentu yang layak uji teknik maupun kelayakan pembiayaan. sedangkan di lain segi, instansi pemeerintah sebagai pengguna barang/jasa, diharapkan untuk dapat mengendalikan administrasi dan pembiayaan sesuai peraturan dan kebijakan yang berlaku.
Bahwa di satu segi, penyelenggaraan atau pelaksanaan suatu proyek, khususnya pembangunan fisik berupa bangunan gedung, maka terdapat tiga pihak perancang dan perekayasa bangunan yaitu : Kontraktor Perencana, kontraktor Pelaksana dan kontraktor Pengawas, yang masing-masing diharapkan secara sinergi dan profesional juga transparan serta responsibility dalam melaksanakan kegiatannya untuk mencapai tujuan akhir yang sama, yaitu berdirinya bangunan tertentu yang layak uji teknik maupun kelayakan pembiayaan. sedangkan di lain segi, instansi pemeerintah sebagai pengguna barang/jasa, diharapkan untuk dapat mengendalikan administrasi dan pembiayaan sesuai peraturan dan kebijakan yang berlaku.
Bahwa dalam ketetuan pasal 25 sampai dengan
pasal 27, Undang Undang No. 18 Tahu 1999 Tentang Jasa Konstruksi, telah
mengharuskan ketiga pihak yaitu : Perencana, Pelaksana maupun Pengawas Proyek
bertanggungjawab atas kegagalan bangunan proyek, dan untuk mengganti kerugian
akibatnya, namun kegagalan bangunan proyek dimaksudkan justru adalah terpisah
dalam arti jika kesalahan terletak pada aspek perencana maka pihak pelaksana
dan pengawas tidak sama sekali dapat dibebankan tanggungjawab tsb. selanjutnya
dalam ketentuan pasal 31, Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 Tentang
Penyelenggaraan jasa konstruksi jungto Peraturan Pemerintah No.59 Tahun 2010,
menyatakan bahwa kegagalan bangunan atau kegagalan pekerjaan konstruksi adalah
keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesipikasi
pekerjaan sebagaimana dalam kontrak kerja konstruksi, baik sebagian maupun
seluruhnya akibat kesalahan pengguna jasa konstruksi atau pengguna jasa
konstruksi.sedangkan maksud ketentuan pasal 32, Peraturan Pemerintah No.29
Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan jasa konstruksi jungto Peraturan Pemerintah
No.59 Tahun 2010, adalah justru membebaskan pihak kontraktor Perencana atas
tanggungjawab untuk ganti rugi akibat kegagalan pekerjaan konstruksi, apabila
kesalahan terletak pada perbuatan hukum oleh pihak pengguna jasa dan pelaksana
serta pengawas. juga sebaliknya membebaskan pihak kontraktor Pelaksana proyek
atas tanggungjawab untuk ganti rugi akibat kegagalan pekerjaan konstruksi,
apabila kesalahan terletak pada perbuatan hukum oleh pihak pengguna jasa dan
Perencana serta Pengawas, juga sebaliknya membebaskan pihak Pengawas atas
tanggungjawab untuk ganti rugi akibat kegagalan pekerjaan konstruksi, apabila
kesalahan terletak pada perbuatan hukum oleh pihak pengguna jasa dan perencana
serta kontraktor Pelaksana proyek pembangunan tersebut.
Dalam kaitan tsb, masih terdapat pihak yang secara fungsional administratif sering menjadi fokus soal pengendalian pertanggungjawaban pekerjaan proyek pembangunan yaitu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang secara berjenjang adaalah berkedudukan sebagai salah satu aparat pelaksana yang bertanggungjawab kepada pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran dalam proyek pembangunan tsb, yang menurut maksud ketentuan pasal 9 ayat (5) Peraturan Presiden No.8 Tahu 2006 Tentang perubahan ke-empat Keputusan Presiden No.80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan barang dan Jasa Pemerintah, jungto Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 jungto Peraturan Presiden No.35 tahun 2011 jungto Peraturan Presiden No.70 Tahun 2012, antara lain menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bertanggungjawab secara administrasi, teknis, keuangan dan fungsional atas pelaksanaan pengadaan barang atau jasa pemerintah.
Dalam kaitan tsb, masih terdapat pihak yang secara fungsional administratif sering menjadi fokus soal pengendalian pertanggungjawaban pekerjaan proyek pembangunan yaitu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang secara berjenjang adaalah berkedudukan sebagai salah satu aparat pelaksana yang bertanggungjawab kepada pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran dalam proyek pembangunan tsb, yang menurut maksud ketentuan pasal 9 ayat (5) Peraturan Presiden No.8 Tahu 2006 Tentang perubahan ke-empat Keputusan Presiden No.80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan barang dan Jasa Pemerintah, jungto Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 jungto Peraturan Presiden No.35 tahun 2011 jungto Peraturan Presiden No.70 Tahun 2012, antara lain menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bertanggungjawab secara administrasi, teknis, keuangan dan fungsional atas pelaksanaan pengadaan barang atau jasa pemerintah.
Bahwa tidak selalu berbanding lurus
(simetris) antara kegagalan pekerjaan konstruksi dengan kerugian yang
diakibatkan perubahan kontrak pekerjaan konstruksi, karena dalam pelaksanaan
pekerjaan konstruksi dimungkinkan adanya perubahan kontrak (addendum). justru
maksud ketentuan dalam pasal 87 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden
No.54 Tahun 2010 jungto Peraturan Presiden No.35 tahun 2011 jungto Peraturan
Presiden No.70 Tahun 2012, telah membolehkan pihak penyedia jasa konstruksi bersama
PPK untuk melakukan perubahan kontrak dalam hal kondisi lapangan pada saat
pelaksanaan pekerjaan dengan gambar dan spesipikasi teknis yang ditentukan
dalam kontrak awal menghendaki adanya penyesuaian antara lain : menambah atau
mengurangi jenis atau volume pekerjaan termasuk meprubah spesipikasi teknis
pekerjaan sesuai kebutuhan di lapangan, bahkan untuk mengubah jadwal waktu
pelaksanaan pekerjaan. dengan ketentuan untuk pekerjaan tambhan pekerjaan atau
volume atau spesipikasi tembahan tidak melampaui 10 % (sepuluh persen)
dari harga dalam kontrak awal, juga ketersediaandana.
Dalam kaitan perubahan kontrak pekerjaan tsb, secara
analogi pasal 87 ayat (2) Peraturan Presiden tsb, tidak mutlak sebagai suatu
persyaratan, sebab kondisi lapangan pekerjaan memungkinkan terlampauinya jumlah
10% harga dalam kontrak awal, apalagi jika kenyataan terjadi perubahan harga
setempat yang juga sudah berbeda selisih lebih dari harga patokan yang berlaku
saat terjadinya perubahan kondisi lapangan pekerjaan konstruksi (waktu kemudian),
apalagi jika kenyataan masih tersediannya penggunaan anggaran proyek
ybs.sehingga perubahan kontrak pekerjaan dalam arti penambahan item pekerjaan
(adendum kontrak) sepanjang dijustifikasi oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna
anggaran melalui PPK proyek pembagunan tsb, dan selama masih tersedia anggaran
proyek tsb, adalah tidak adil dan tidak proporsional menggap sebagai
penyimpangan tidak normal apalagi dengan tuduhan terjadi peristiwa pidana
khusus korupsi, dalam proyek pembangunan tsb. dengan kata lain adalah tidak
mudah menganggap terjadi tindak pidana korupsi dalam pelaksaan pekerjaan suatu
proyek pembnagunan (pekerjaan konstruksi) selama ketentuan undang undang dan
peraturan pemerintah serta peraturan presiden terkait, tidak ditafsirkan secara
sempit hanya meliputi perubahan kontrak, tanpa menimbang persoalan sistem atau
mekanisme pelaksanaan anggaran maupun sistem dan mekanisme pekerjaan
konstruksiitusendiri.
Bahwa segi pertanggungjawaban kesalahan oleh
ke empat pihak yang disebutkan di atas, seharusnya adalah tanggungjawab
kolektif dalam arti juridis administratif, namun bukan dalam segi teknik dan
keuangan, apabila hal itu dihadapkan atas tuntutan hukum pidana khusus (tindak
pidana korupsi).oleh kaenanya adalah proporsional dan adil jika
pertanggungjawaban dimaksud adalah secara personalia tersendiri atau berdiri
sendiri-sendiri. namun hal tsb, tidak serta merta berati semua kesalahan
tertuju langsungsemata mata atau hanya kepada pihak kontraktor Pelaksana,
Pengawas, Perencana maupun PPK.
Kesimpulan :
Bahwa resiko tanggug jawab ganti rugi maupun tuntutan pidana khusus korupsi lebih dominan atau cenderung merupakan tanggungjawab personil pribadi masing-masing sendiri-sendiri, dalam kaitan peristiwa hukum kegagalan pekerjaan konstruksi atau pelaksanaan proyek pembangunan, namun tidak mudah menganggap adanya suatu kejadian tindak pidana korupsi selama perubahan kontrak pekerjaan konstruksi tidak ditafsirkan secara sempit hanya sebatas sah tidaknya perubahan kontrak pekerjaan konstruksi.
Bahwa resiko tanggug jawab ganti rugi maupun tuntutan pidana khusus korupsi lebih dominan atau cenderung merupakan tanggungjawab personil pribadi masing-masing sendiri-sendiri, dalam kaitan peristiwa hukum kegagalan pekerjaan konstruksi atau pelaksanaan proyek pembangunan, namun tidak mudah menganggap adanya suatu kejadian tindak pidana korupsi selama perubahan kontrak pekerjaan konstruksi tidak ditafsirkan secara sempit hanya sebatas sah tidaknya perubahan kontrak pekerjaan konstruksi.