Sabtu, 14 April 2018

Bangunan Cagar Budaya Gedung Cornelis

BAB 2
PENDAHULUAN

2.1 Gedung Cornelis



      Saat pemerintahan Jepang di Indonesia, gedung Cornelis digunakan sebagai markas tentara Jepang di Jatinegara. Setelah kemerdekaan, gedung Cornelis digunakan sebagai gedung Korem, dan beralih fungsi lagi menjadi gedung Kodim 0505. Saat masih berfungsi sebagai Kodim, maka dibangun rumah dinas dengan tambahan dua bangunan memanjang, serta bangunan masjid di belakang. Terlepas dari kondisinya sekarang, di situlah sejarah Jatinegara bertutur dengan segala haru birunya.
     Sebagian besar orang tua di Jatinegara menyebut gedung Cornelis dengan sebutan gedung Ren atau gedung Papak. Tapi tak sedikit juga orang mengenalnya sebagai ‘kodim lama’. Kini gedung yang dulunya tampak mewah dan megah, telah direnovasi dan akan berubah fungsi menjadi sebuah Pusat Kebudayaan Betawi. Sebuah gedung yang pernah sarat dengan aktivitas militer segera berubah jadi arena lenong.
     Hampir setahun terakhir, gedung penting dalam sejarah perkembangan Jakarta ini kembali putih bercahaya. Sebelumnya, gedung ini terbengkalai setelah otoritas militer meninggalkannya pada 2005. Kondisinya kusam, atapnya nyaris roboh. Peminat dan pemerhati sejarah prihatin karena gedung itu merupakan cagar budaya, pernah jadi kediaman Meester Cornelis. Renovasi gedung yang terletak 50 meter dari seberang stasiun Jatinegara itu belum sepenuhnya selesai, karena bagian belakang  gedung masih terlihat belum diperbaiki. Bagian dalam gedung pun masih kosong. Rencananya proses perbaikan akan dilanjutkan oleh pemerintah  pada akhir 2012.

2.2 Upaya Mempertahankan Bangunan Cagar Budaya
Bangunan Cagar Budaya adalah sebuah kelompok bangunan bersejarah dan lingkungannya, yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan nilai sosial budaya masa kini maupun masa lalu (Burra Charter, 1992: 21). Pada dasarnya dasar pelakasanaan konservasi bangunan arsitektur cagar budaya mengacu pada rambu - rambu kebijakan secara nasional dalam bentuk peraturan perundang - undangan cagar budaya dan peraturan terkait lainnya, maupun peraturan - peraturan yang dikeluarkan yang diberlakukan secara regional, misalnya Pemda DKI Jakarta.          
Dalam mempertahankan bangunan cagar budaya terdapat rambu - rambu dan kebijakan dalam pelaksanaannya, yang diatur secara peraturan perundang - undangan. Salah satunya adalah Undang-undang No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya;
Pasal 83 yang menyatakan :

1.  Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan:
·     - Ciri asli dan muka bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya.
·   - Ciri asli lanskap budaya dan permukaan tanah situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.
2. Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan :
·       - Mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada cagar budaya;
·       - Menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;
·       - Mengubah susunan ruang secara terbatas; dan
·      - Mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.


2.3 Tindakan Pelestarian

Terdapat beberapa langkah – langkah dalam melestarikan Bangunan Cagar Budaya yaitu :
  • Pelestarian
            Dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, pengertian Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya.
            Dalam Undang - Undang tersebut di atas, lembaga yang diberi fungsi untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda, bangunan atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya atau yang bukan Cagar Budaya, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat adalah museum.
            Jika kita menyoal pelestarian warisan kebudayaan, maka akan tiba pada pemahaman akan sisi bendawi  dan bukan bendawi dari sebuah warisan. Dalam prakteknya, pendekatan secara holistik pelestarian bendawi dan bukan bendawi menimbulkan kerumitan tersendiri karena kedua unsur tersebut memiliki karakter yang berbeda. Sebuah warisan bendawi, sebut saja sebuah bangunan bersejarah, lebih mudah untuk dikatalogisasi, lalu menerapkan tindakan - tindakan pelindungan yang bersifat konservasi dan restorasi pada fisik bangunannya. Warisan bukan bendawi, di lain pihak membutuhkan pendekatan yang lebih dalam karena melibatkan pelaku (manusia), kondisi sosial dan lingkungan yang sangat cepat berubah bila dibandingkan dengan bangunan itu sendiri.
            Keterlibatan masyarakat atau komunitas masyarakat di sekitar warisan bendawi dalam segi pelindungan sangat dibutuhkan, karena dalam banyak kasus, kerusakan dini yang luput dari perhatian bermula dari ketidaktahuan atau ketidakpedulian masyarakat sekitar. Vandalisme, penjarahan, perusakan Cagar Budaya merupakan contoh yang nyata.
            Kesulitan dalam segi pelindungan bukan bendawi adalah manakala terdapat konsep sejarah di dalamnya. Menurut Drs. I Made Purna, M.Si., seorang peneliti pada BPSNT Bali, dalam memahami sejarah bangsa tercakup dua pengertian di dalamnya yaitu masa lampau dan rekontruksi tentang masa lampau. Masa lampau hanya terdapat dalam ingatan orang - orang (ingatan kolektif) yang pernah mengalaminya. Kenyataan ini baru bisa diketahui oleh orang lain apabila diungkapkan kembali dengan adanya komunikasi dan dokumentasi yang menjadi kisah atau gambaran tentang peristiwa masa lampau.

  • Pengembangan
            Pengembangan dalam Undang - Undang Cagar Budaya adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian.
            Masyarakat atau komunitas dalam masyarakat dapat secara aktif bersama - sama dengan museum dapat terlibat dalam tahap pengembangan sebagai bagian dari pelestarian. Penelitian ilmiah dapat dilakukan oleh berbagai pihak untuk menelisik dan menelaah lebih lanjut tentang warisan bendawi dimaksud. Revitalisasi memungkinkan masyarakat menikmati fungsi asal sebuah Bangunan           Cagar Budaya sebagai contoh sebuah bangunan bersejarah yang kini berfungsi sebagai kantor pemerintahan. Setelah dilakukan kajian ilmiah yang dapat di pertanggungjawabkan, ternyata bangunan dimaksud merupakan fasilitas pertunjukan pada masanya. Pada saat - saat tertentu, fungsi ini dapat dikembalikan seperti semula dengan tetap menjunjung tinggi nilai - nilai pelestarian. Demikian juga dalam soal Adaptasi, misalnya penambahan ruangan pada bangunan tersebut sesuai dengan kebutuhan.
            Unsur - unsur publikasi Cagar Budaya dapat dikembangkan oleh masyarakat atau komunitas masyarakat melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Publik dapat menampilkan kegiatan - kegiatan promosi berupa pentas seni dan budaya.

  • Pemanfaatan
            Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar - besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya (UU Cagar Budaya 2010). Dalam konteks pelestarian, pemanfaatan Cagar Budaya adalah mutlak karena merupakan muara dari pelestarian. Salah satu tujuan Cagar Budaya dilindungi dan dikembangkan ialah agar dapat dimanfaatkan. Pemanfaatannya dapat berupa sarana pembelajaran, pusat rekreasi seni dan budaya, tempat diskusi dan lain sebagainya. Pemanfaatan Cagar Budaya harus ditekankan pada elemen pendidikan karena pemahaman tentang pelestarian itu lebih efektif dilakukan dengan pendekatan pendidikan. Pemanfaatan lainnya dapat berupa kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi, pariwisata, agama, sejarah, dan kebudayaan. Peran serta masyarakat dan komunitas turut andil besar dalam melestarikan kawasan Cagar Budaya.


  • Zonasi
            Zoning adalah suatu upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi dan sekaligus mengatur peruntukan lahan, agar tidak terganggu oleh kepentingan lain yang terjadi disekitarnya, yang oleh Callcott disebutkan bahwa zonasi merupakan suatu cara atau teknik yang kuat dan fleksibel untuk mengontrol pemanfaatan lahan pada masa datang (Callcott, 1989:38).
            Pernyataan yang dikemukaan oleh Callcott tersebut lebih di tekankan pada pengaturan dan pengontrolan pemanfaatan lahan untuk berbagai jenis kepentingan yang diatur secara bersama. Sementara dalam zonasi cagar budaya tujuan utamanya adalah menentukan wilayah situs serta mengatur atau mengendalikan setiap kegiatan yang dapat dilakukan dalam setiap zona. Dengan demikian maka zonasi cagar budaya yang dimaksud dalam hal ini, memiliki cakupan yang lebih sempit dibanding dengan pengertian yang dikemukakan oleh Callcott, namun memperlihatkan persaman antara satu dengan yang lainya, yaitu masing - masing mengacu pada kepentingan pengendalian dan pemanfaatan lahan agar dapat dipertahankan kelestarianya. Zoning sangat penting contohnya saja jika cagar budaya berada dalam kawasan kota, maka ancaman terbesarnya adalah aktifitas pembangunan kota yang tidak mengindahkan peraturan pelestarian cagar budaya. Oleh karena itu, penentuan strategi zoning harus bersifat aplikatif dan diupayakan dapat mengakomodir  berbagai kepentingan.
            Zonasi terhadap situs cagar budaya ini harus dilakukan dengan perspektif yang luas untuk dapat menetapkan suatu sistem penataan ruang yang bijak dengan tetap berpegang pada prinsip pelestarian tanpa merugikan pihak manapun. Hal ini menjadi signifikan mengingat cakupan zonasi cagar budaya biasanya meliputi sebuah wilayah yang cukup luas. Dengan demikian penentuan batas zona harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara luas.

Azhar Rahman
21314920
4TB06

Bangunan Cagar Budaya Gedung Cornelis

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Sejarah Gedung Cornelis


     Jika menilik masa lalu, keberadaan sebuah gedung memiliki nilai utilitas yang tinggi. Tidak hanya itu, sejak dulu sebuah gedung sering menjadi penanda kota yang pada akhirnya menjadi ikon dari sebuah kota. Apalagi jika gedung tersebut memiliki sejarah penting, maka sosoknya tidak akan bisa lepas dari keberadaan kota tersebut.
     Tak heran jika mengingat kawasan Kota Tua di Jakarta Barat, orang akan terbayang dengan keberadaan Museum Fatahillah. Dan jika menyebut kawasan Pasarbaru Jakarta Pusat, yang terlintas dipikiran adalah sebuah gedung megah bekas markas kantor berita Antara, yang kini berubah fungsi menjadi Gedung Kantor Pos Besar atau Museum Fotografi.
     Begitu juga dengan kawasan Jatinegara, tidak akan bisa lepas dari keberadaan gedung tua berarsitektur colonialpeninggalan Meester Cornelis. Terletak di Jalan Raya Bekasi Timur, tak jauh dari Stasiun Kereta Api Jatinegara, Jakarta Timur, nama Meester Cornelis begitu melekat di gedung ini. Sejarahwan mengatakan, di gedung inilah, dulunya sang Meester pernah tinggal dan menetap. Meester Cornelis sendiri adalah nama seorang guru agama yang pertama kali membangun dan mengembangkan kawasan Jatinegara.

     Cornelis merupakan anak keluarga kaya asal pulau Lontar, Banda, Maluku yang datang ke kawasan Jatinegara pada sekitar abad ke-17. Cornelis dikenal sebagai guru agama Kristen dan membuka sekolah pada 1635. Sosoknya yang terkenal bersahaja sebagai guru itulah yang membuat Cornelis disebut ‘Meester’ yang artinya adalah tuan guru oleh masyarakat sekitar.
     Namun seiring perkembangannya, nama ‘Meester’ berubah menjadi ‘Mester’. Mengikuti pelafalan dari masyarakat sekitar. Tahun 1661, Mester membeli sebidang tanah di sekitar aliran sungai Ciliwung, Jatinegara. Ia juga mendapatkan hak istimewa dari VOC untuk memperluas kawasan tersebut dengan menebangi pohon-pohon jati yang banyak tumbuh subur pada saat itu. Sejak itu, Mester mengembangkan tanah miliknya untuk menjadi kawasan perdagangan. Pada tahun 1875, karena perkembangan wilayah Mester yang pesat, dibangunlah jalur kereta yang menghubungkan Mester (Jatinegara) dengan Kota Intan (Jakarta Kota).
     Selain itu,  Mester juga menjadi salah satu kawasan yang dilewati pembangunan jalur Anyer-Panarukan yang dibangun Daendels untuk pembangunan perekonomian Pulau Jawa. Perkembangan sarana transportasi tersebut membuat kawasan Mester menjadi semakin ramai dan berkembang secara ekonomi sebagai kawasan perdagangan.
     Kemudian, pada abad ke-19, Mester menjadi salah satu kawasan yang dijadikan Gemeente (Kota Praja) oleh Pemerintah Hindia-Belanda untuk pelaksanaan otonomi daeah. Hingga pada 1 Januari 1963, Gemeente Mester digabungkan menjadi Gemeente Batavia.
     Tanah luas milik Mester ini kemudian berganti nama mejadi Jatinegara sepeninggalan pemerintahan Belanda yang digantikan oleh pemerintahan Jepang sejak tahun 1942. Pergantian nama tersebut adalah untuk menghilangkan identitas Belanda. Karena nama Mester dianggap terlalu bernuansa Belanda oleh pemerintah Jepang. Asal mula nama Jatinegara sendiri berarti ‘Negara yang sejati’. Namun versi lain mengatakan nama Jatinegara diambil karena wilayah tersebut dulunya merupakan hutan Jati yang lebat sebelum dibuka oleh Mester.
Azhar Rahman
21314920
4TB06

Kamis, 11 Januari 2018

KRITIK ARSITEKTUR ISTANA TAMPAK SIRING

KRITIK ARSITEKTUR
Metode Deskriptif – Istana Tampak Siring


Objek Kritik : Istana Tampak Siring
Dibangun pertama kalinya pada tahun 1957, istana Tampaksiring ada di jalan Astina Pura Utara, Desa Tampaksiring, Gianyar. Didesain oleh arsitek bernama R.M Soedarsono, istana ini terletak di atas bukit, sekitar 700 meter di atas permukaan air laut. Bangunan terdiri dari dua gedung utama, Wisma Merdeka sebagai tempat presiden dan keluarganya dan Wisma Yudhistira yang menjadi tempat menginap tamu kehormatan presiden.
Metode Kritik : Kritik Deskriptif
                Kritik ini berupa gambaran yang bersifat tidak menilai, tidak menafsirkan, atau semata-mata membantu orang melihat apa yang sesungguhnya ada. Kritik ini berusaha mencirikan fakta-fakta yang menyangkut sesuatu lingkungan tertentu dan tampak lebih nyata (factual).



kanalwisata.com

Istana Tampaksiring berdiri di desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Lahan pembangunan istana adalah pemberian dari Raja Gianyar. Presiden Soekarno memerintahkan arsitek R.M. Soedarsono membuat rancang-bangun untuk Istana Kepresidenan di sana. R.M Soedarsono adalah arsitek pada Jawatan Pekerjaan Umum. Pembangunan istana berada di bawah pengawasan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Seksi Gianyar, Tjokorda Gde Raka. Pembangunan Istana Tampaksiring mulai dipersiapkan pada 1956. Pembangunannya dimulai pada 1957 dan selesai 1963. Gedung pesanggrahan Raja Gianyar dirobohkan dan atasnya dibangun gedung utama Wisma Merdeka pada 1957.

smartchildsite.wordpress.com

Bila lima istana lainnya dibangun dengan gaya arsitektur Eropa, maka Istana Tampaksiring sangat  kental dengan ciri ke Indonesiaan dan nuansa lokal Bali. Tidak ada pilar-pilar besar yang menampilkan kesan keagungan dan kekuasaan duniawi. Rancang-bangunnya sangat fungsional, menonjolkan kesederhanaan dan fungsinya sebagai wisma peristirahatan. Batu-batu alam dan batu bata halus khas Bali sengaja ditonjolkan untuk menciptakan corak kedaerahan. Ukiran batu paras dan tiang-tiang kayu gaya Bali terasa padu dalam konsep arsitektumya, bukan sebagai elemen tambahan yang ditempelkan. Semua bahan dari kayu jati didatangkan dari Jawa. Sementara elemen artistiknya dalam bentuk ukiran kayu dan batu dikerjakan oleh para seniman Bali.

smartchildsite.wordpress.com

                Seperti istana presiden lainnya, Presiden Soekarno juga membawa karya seni bernilai  tinggi ke dalam Istana Tampaksiring. Koleksi benda-benda seni di Istana Tampaksiring antara lain karya-karya pematung Bali yang terkenal, Cokot, serta pelukis-pelukis kenamaan seperti Le Mayeur, Rudolf Bonnet, Dullah, Sudarso, dan Agus Djaja.


Sumber:


Minggu, 23 Oktober 2016

PENYIMPANGAN DALAM PROYEK PEMBANGUNAN

PENYIMPANGAN DALAM PROYEK PEMBANGUNAN

SEKITAR PERTANGGUNG JAWABAN ATAS PENYIMPANGAN DALAM PROYEK PEMBANGUNAN

Proyek Pembangunan  merupakan perbuatan hukum yag dilakukan oleh orang atau badan usaha atas dasar kesepakatan atau perjanjian (kontrak) dalam suatu waktu dan tempat tertentu, melaksanakan atau mengerjakan sesuatu kegiatan untuk meyelesaiakan suatu bangunan  fisik atau mengadakan suatu barang tertentu atau jasa tertentu yang dibutuhkan oleh suatu pengguna barang/jasa (instansi pemerintah).

Bahwa penyimpangan dimaksud adalah dalam kategori normal dalam artian batas toleransi masih dimungkinkan baik dari segi moral-etik maupun normatif, sedangkan penyimpangan tidak normal dimaksud adalah baik dari segi moral-etik maupun normatif tidak memungkinkan adanya batas toleransi yang justru sebaliknya memungkinkan penghukuman  pidana (punishmen) oleh lembaga peradilan.
Bahwa di satu segi, penyelenggaraan atau pelaksanaan suatu proyek, khususnya pembangunan fisik berupa bangunan gedung, maka terdapat tiga pihak perancang dan perekayasa bangunan yaitu : Kontraktor Perencana, kontraktor Pelaksana dan kontraktor Pengawas, yang masing-masing diharapkan secara sinergi dan profesional juga transparan serta responsibility dalam melaksanakan kegiatannya untuk mencapai tujuan akhir yang sama, yaitu berdirinya bangunan tertentu yang layak uji teknik maupun kelayakan pembiayaan. sedangkan di lain segi, instansi pemeerintah sebagai pengguna barang/jasa, diharapkan untuk dapat mengendalikan administrasi dan pembiayaan sesuai peraturan dan kebijakan yang berlaku.

Bahwa dalam ketetuan pasal 25 sampai dengan pasal 27, Undang Undang No. 18 Tahu 1999 Tentang Jasa Konstruksi, telah mengharuskan ketiga pihak yaitu : Perencana, Pelaksana maupun Pengawas Proyek bertanggungjawab atas kegagalan bangunan proyek, dan untuk mengganti kerugian akibatnya, namun kegagalan bangunan proyek dimaksudkan justru adalah terpisah dalam arti jika kesalahan terletak pada aspek perencana maka pihak pelaksana dan pengawas tidak sama sekali dapat dibebankan tanggungjawab tsb. selanjutnya dalam ketentuan pasal 31, Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan jasa konstruksi jungto Peraturan Pemerintah No.59 Tahun 2010, menyatakan bahwa kegagalan bangunan atau kegagalan pekerjaan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesipikasi pekerjaan sebagaimana dalam kontrak kerja konstruksi, baik sebagian maupun seluruhnya akibat kesalahan pengguna jasa konstruksi atau pengguna jasa konstruksi.sedangkan maksud ketentuan pasal 32, Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan jasa konstruksi jungto Peraturan Pemerintah No.59 Tahun 2010, adalah justru membebaskan pihak kontraktor Perencana atas tanggungjawab untuk ganti rugi akibat kegagalan pekerjaan konstruksi, apabila kesalahan terletak pada perbuatan hukum oleh pihak pengguna jasa dan pelaksana serta pengawas. juga sebaliknya membebaskan pihak kontraktor Pelaksana proyek atas tanggungjawab untuk ganti rugi akibat kegagalan pekerjaan konstruksi, apabila kesalahan terletak pada perbuatan hukum oleh pihak pengguna jasa dan Perencana serta Pengawas, juga sebaliknya  membebaskan pihak Pengawas atas tanggungjawab untuk ganti rugi akibat kegagalan pekerjaan konstruksi, apabila kesalahan terletak pada perbuatan hukum oleh pihak pengguna jasa dan perencana serta kontraktor Pelaksana proyek pembangunan tersebut.
Dalam kaitan tsb, masih terdapat pihak yang secara fungsional administratif sering menjadi fokus soal pengendalian pertanggungjawaban pekerjaan proyek pembangunan yaitu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang secara berjenjang adaalah berkedudukan sebagai salah satu aparat pelaksana yang bertanggungjawab kepada pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran dalam proyek pembangunan tsb, yang menurut maksud ketentuan pasal 9 ayat (5) Peraturan Presiden No.8 Tahu 2006 Tentang perubahan ke-empat Keputusan Presiden No.80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan barang dan Jasa Pemerintah, jungto Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 jungto Peraturan Presiden No.35 tahun 2011 jungto Peraturan Presiden No.70 Tahun 2012, antara lain menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bertanggungjawab secara administrasi, teknis, keuangan dan fungsional atas pelaksanaan pengadaan barang atau jasa pemerintah.


Bahwa  tidak selalu berbanding lurus (simetris) antara kegagalan pekerjaan konstruksi dengan kerugian yang diakibatkan perubahan kontrak pekerjaan konstruksi, karena dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi dimungkinkan adanya perubahan kontrak (addendum). justru maksud ketentuan dalam  pasal 87 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 jungto Peraturan Presiden No.35 tahun 2011 jungto Peraturan Presiden No.70 Tahun 2012, telah membolehkan pihak penyedia jasa konstruksi bersama PPK untuk melakukan perubahan kontrak dalam hal kondisi lapangan pada saat pelaksanaan pekerjaan dengan gambar dan spesipikasi teknis yang ditentukan dalam kontrak awal menghendaki adanya penyesuaian antara lain : menambah atau mengurangi jenis atau volume pekerjaan termasuk meprubah spesipikasi teknis pekerjaan sesuai kebutuhan di lapangan, bahkan untuk mengubah jadwal waktu pelaksanaan pekerjaan. dengan ketentuan untuk pekerjaan tambhan pekerjaan atau volume atau spesipikasi tembahan tidak melampaui 10 % (sepuluh persen) dari  harga dalam kontrak awal, juga ketersediaandana.
           
            Dalam kaitan perubahan kontrak pekerjaan tsb, secara analogi pasal 87 ayat (2) Peraturan Presiden tsb, tidak mutlak sebagai suatu persyaratan, sebab kondisi lapangan pekerjaan memungkinkan terlampauinya jumlah 10% harga dalam kontrak awal, apalagi jika kenyataan terjadi perubahan harga setempat yang juga sudah berbeda selisih lebih dari harga patokan yang berlaku saat terjadinya perubahan kondisi lapangan pekerjaan konstruksi (waktu kemudian), apalagi jika kenyataan masih tersediannya penggunaan anggaran proyek ybs.sehingga perubahan kontrak pekerjaan dalam arti penambahan item pekerjaan (adendum kontrak) sepanjang dijustifikasi oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui PPK proyek pembagunan tsb, dan selama masih tersedia anggaran proyek tsb, adalah tidak adil dan tidak proporsional menggap sebagai penyimpangan tidak normal apalagi dengan tuduhan terjadi peristiwa pidana khusus korupsi, dalam proyek pembangunan tsb. dengan kata lain adalah tidak mudah menganggap terjadi tindak pidana korupsi dalam pelaksaan pekerjaan suatu proyek pembnagunan (pekerjaan konstruksi) selama ketentuan undang undang dan peraturan pemerintah serta peraturan presiden terkait, tidak ditafsirkan secara sempit hanya meliputi perubahan kontrak, tanpa menimbang persoalan sistem atau mekanisme pelaksanaan anggaran maupun sistem dan mekanisme pekerjaan konstruksiitusendiri.

Bahwa segi pertanggungjawaban kesalahan oleh ke empat pihak yang disebutkan di atas, seharusnya adalah  tanggungjawab kolektif dalam arti juridis administratif, namun bukan dalam segi teknik dan keuangan, apabila hal itu dihadapkan atas tuntutan hukum pidana khusus (tindak pidana korupsi).oleh kaenanya adalah proporsional dan adil jika pertanggungjawaban dimaksud adalah secara personalia tersendiri atau berdiri sendiri-sendiri. namun hal tsb, tidak serta merta berati semua kesalahan tertuju langsungsemata mata atau hanya kepada pihak kontraktor Pelaksana, Pengawas, Perencana maupun PPK.

Kesimpulan :
            Bahwa resiko tanggug jawab ganti rugi maupun tuntutan pidana khusus korupsi lebih dominan atau cenderung merupakan tanggungjawab personil pribadi masing-masing sendiri-sendiri, dalam kaitan peristiwa hukum kegagalan pekerjaan konstruksi atau pelaksanaan proyek pembangunan, namun tidak mudah menganggap adanya suatu kejadian tindak pidana korupsi selama perubahan kontrak pekerjaan konstruksi tidak ditafsirkan secara sempit hanya sebatas sah tidaknya perubahan kontrak pekerjaan konstruksi.


ANALISIS KONTRAK KERJA

ANALISIS KONTRAK KERJA

Contoh surat kontrak kerja

SURAT PERJANJIAN KONTRAK KERJA

Pada hari ini, Kamis tanggal enam September tahun dua ribu sembilan, yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Eko Arifin
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. Dukuh Kupang Jaya VII-A / 17 Surabaya
bertindak sebagai pemilik rumah yang dalam hal ini disebut sebagai PIHAK PERTAMA
Nama : Yudi Darmanto
Pekerjaan : Kontraktor
Alamat : Jl. Sumatra III No. 7D Surabaya
bertindak sebagai kontraktor yang dalam hal ini disebut sebagai PIHAK KEDUA
Dengan ini kedua belah pihak menyatakan untuk saling mengikat diri mengadakan perjanjian kerja untuk pembangunan rumah untuk selanjutnya diatur dengan syarat dan ketentuan sebagai berikut.
Pasal 1
Macam dan Tempat Pekerjaan
PIHAK PERTAMA memberikan tugas pada PIHAK KEDUA untuk melaksanakan pembangunan rumah yang berlokasi di Jl. Panglima Polim 1-A No. 3 Surabaya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan spesifikasi teknis dan gambar terlampir yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Pasal 2
Waktu Pelaksanaan Pekerjaan
Pekerjaan seperti yang tersebut dalam pasal 1 akan dimulai pada hari senin, 14 September 2009 dan harus diselesaikan dalam waktu maksimal 180 (seratus delapan puluh) hari kerja.
Pasal 3
Pelaksanaan Pekerjaan
1.PIHAK KEDUA harus mulai melaksanakan pekerjaan sesuai tanggal yang ditetapkan bersama dan tidak dibenarkan melakukan penyimpangan atau pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan bersama.
2.PIHAK KEDUA harus bekerja berdasarkan data-data yanglengkap dan tidak diperkenankan memutuskan sendiri perkara-perkara yang ada di luar gambar kerja (bestek) dan Rancangan Anggaran Biaya (RAB).
3.PIHAK PERTAMA harus memberikan detail spesifikasi material bangunan yang dianggap perlu apabila belum tertera di gambar kerja maupun RAB.
Pasal 4
Biaya Pelaksanaan
Biaya pelaksanaan pekerjaan untuk proyak rumah tinggal tersebut adalah sebesar Rp. 562.500.000,- (Lima Ratus Enam Puluh Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah), untuk 1 (satu) unit bangunan. Harga borongan tersebut sudah mencakup bahan material, upah pekerja, keuntungan kontraktor dan tidak termasuk Pajak-pajak serta biaya perijinan.
Pasal 5
Prosedur Penagihan dan Pembayaran
Prosedur pembayaran PIHAK PERTAMA pada PIHAK KEDUA sesuai dalam pasal 4 akan dilakukan secara bertahap sesuai 6 (enam) termin yang disepakati bersama sebagai berikut.
a.Termin I (satu)
Dibayarkan sebagai uang muka saat penandatanganan kontrak ini yaitu sebesar 20% dari nilai pelaksanaan (pasal 4)
20% x Rp. 562.500.000,- = Rp. 112.500.000,-
b.Termin II (dua)
Dibayarkan setelah seluruh pekerjaan pondasi selesai dan sudah memulai pekerjaan pasangan dinding batu bata dan urugan lantai, sebesar 20%.
20% x Rp. 562.500.000,- = Rp. 112.500.000,-
c.Termin III (tiga)
Dibayarkan setelah pemasangan dinding batu bata dan plesteran dinding selesai lalu atap
sedang dikerjakan, sebesar 20%.
20% x Rp. 562.500.000,- = Rp. 112.500.000,-
d.Termin IV (empat)
Dibayarkan setelah pekerjaan atap selesai dan mulai mengerjakan pekerjaan pemasangan plafon, dan acian dinding mulai dikerjan, sebesar 20%.
20% x Rp. 562.500.000,- = Rp. 112.500.000,-
e.Termin V (lima)
Dibayarkan setelah pekerjaan pemasangan lantai dan pengecatan sedang dilakukan, sebesar 15%.
15% x Rp. 562.500.000,- = Rp. 84.375.000,-
f.Termin VI (enam)
Dibayarkan pada saat seluruh pekerjaan selesai 100%, setelah habis masa pemeliharaan selama 3 (tiga) bulan sesuai dengan pasal 6, sebesar 5% dari nilai pekerjaan.
5% x Rp. 562.500.000,- = Rp. 28.125.000,-
Pasal 6
Masa Pemeliharaan
1.Masa pemeliharaan untuk setiap pekerjaan ditentukan selama 3 (tiga) bulan, sejak berita acara serah terima pekerjaan ditandatangani
2.Pada saat berakhirnya masa pemeliharaan tersebut, kedua belah pihak akan menandatangani berita acara serah terima yang kedua dan dianggap sebagai serah terima pekerjaan yang terakhir.
3.Serah terima pekerjaan dilakukan oleh PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA.
Pasal 7
Pekerjaan Tambah Kurang
1.Jika di kemudian hari dalam proses pelaksanaan konstruksi terdapat pekerjaan tambah dan pekerjaan kurang akibat perubahan spesifikasi material bangunan atau gambar kerja, maka hal tersebut akan diatur dalam addendum tersendiri.
2.Setiap pekerjaan tambah atau kurang harus melalui dan dari PIHAK PERTAMA
3.Pekerjaan tambah atau kurang yang melalui PIHAK KEDUA akibat masalah teknis, harus diberitahukan pada PIHAK PERTAMA.
4.PIHAK PERTAMA berhak tidak menyetujui, membongkar dan tidak mengganti biaya apabila terdapat pekerjaan tambah yang dilakukan PIHAK KEDUA tanpa sepengetahuan PIHAK PERTAMA.
Pasal 8
Pengawas Lapangan
1.Sebagai pengawas pekerjaan akan dilakukan langsung oleh PIHAK PERTAMA atau orang yang ditunjuk dan diberi kuasa oleh PIHAK KEDUA dan diberitahukan secara tertulis kepada PIHAK PERTAMA.
2.PIHAK PERTAMA berhak sewaktu-waktu mendatangi, mengawasi, memeriksa pekerjaan ataupun menanyakan kepada setiap pekerja lapangan (tukang atau mandor) yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut.
3.PIHAK KEDUA harus bersedia jika diminta mendampingi oleh PIHAK PERTAMA dalam pengawasan pekerjaan di lokasi proyek.
Pasal 9
Sub Kontraktor
Keseluruhan pekerjaan merupakan tanggung jawab PIHAK KEDUA sepenuhnya, oleh karena itu tidak diperkenankan memberikan pekerjaan tersebut kepada PIHAK KETIGA atau orang lain di luar Surat Perjanjian Kontrak Kerja ini.
Pasal 10
Force Mejeur
1.Yang dimaksud keadaan Force Majeur adalah berbagai keadaan yang mengganggu kelancaran pelaksanaan proyek seperti:
a.Bencana alam (gempa bumi, tanah longsor, angin topan, banjir, kebakaran, dll) yang bisa menyebabkan terganggunya jalannya proses konstruksi.
b.Kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter (devaluasi) atau kenaikan harga BBM yang mengakibatkan proyek tersebut terganggu secara teknis maupun anggaran biaya.
c.Peperangan atau huru-hara yang mengakibatkan proyek tidak bisa dilanjutkan.
2.PIHAK KEDUA harus memberitahukan pada PIHAK PERTAMA tentang gangguan yang dimaksud beserta kendala dan akibat yang ditimbulkan paling lambat 2 x 24 jam terhitung sejak peristiwa tersebut terjadi, jika tidak maka akan dianggap tidak terjadi force majeur.
3.Jika terjadi force majeur, PIHAK KEDUA harus memberikan itikad baik mengenai kelanjutan proyek.
Dalam keadaan yang disebutkan dalam pasal 1, maka kedua belah pihak bisa bermusyawarah untuk kesepakatan dalam memutuskan keberlanjutan proyek.
Pasal 11
Sanksi – Sanksi
1.Apabila PIHAK KEDUA tidak sanggup memenuhi kesepakatan yang tercantum pada pasal 2 yaitu waktu pelaksanaan melebihi waktu yang disepakati bersama (180 hari), maka PIHAK PERTAMA berhak mengklaim 1% dari nilai kontrak untuk setiap hari keterlambatan. 2.Keterlambatan pelaksanaan proyek dapat ditolerir apabila terjadi force majeur sesuai pasal 10 ayat 1. 3.Apabila kualitas pekerjaan yang dilaksanakan PIHAK KEDUA tidak sesuai dengan spesifikasi gambar kerja dan RAB, maka PIHAK PERTAMA berhak menunda pembayaran termin sampai kesepakatan lebih lanjut atau berhak memutuskan secara sepihak Surat Perjanjian Kontrak Kerja ini. 4.Apabila PIHAK PERTAMA lalai atau terlambat membayar termin kepada PIHAK KEDUA atas pekerjaan yang sesuai prosedur yang benar, maka PIHAK KEDUA berhak secara sepihak menghentikan jalannya proyek dengan sepengetahuan PIHAK PERTAMA (secara tertulis) sampai batas waktu yang ditentukan.
5.Sehubungan dengan ketentuan pada ayat 3 di atas, maka PIHAK PERTAMA mempunyai hak secara penuh untuk mencari dan menggunakan kontraktor lain untuk menggantikan pekerjaan PIHAK KEDUA dengan memberitahukannya terlebih dahulu.
Pasal 12
Kewajiban Pihak Kedua
1.PIHAK KEDUA berkewajiban melaksanakan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi yang telah tercantum pada gambar kerja dan RAB yang sudah disepakati bersama.
2.PIHAK KEDUA bisa mendatangkan/ menambah tenaga kerja tanpa sepengetahuan PIHAK PERTAMA jika jadwal pelaksanaan sudah cenderung terlambat dari jadwal yang sudah disepakati bersama.
Pasal 13
Perselisihan Jika dalam menjalankan Surat Perjanjian Kontrak Kerja ini terdapat perselisihan atau perbedaan pendapat, maka kedua belah pihak akan menempuh jalan musyawarah mufakat. Apabila tidak tercapai, maka dapat dilimpahkan ke instansi yang berwenang.
Pasal 14
Penutup
1.Jika terdapat hal-hal penting yang belum diatur dalam Surat Perjanjian Kontrak Kerja ini, maka kedua belah pihak secara mufakat akan menetapkan kemudian hari.
2.Demikian Surat Perjanjian Kontrak Kerja ini dibuat dengan rangkap 2 (dua) bermaterai dan ditandatangani untuk masing-masing pihak dan merupakan surat perjanjian yang mengikat dan sah di mata hukum.

Surabaya, 6 September 2009

PIHAK PERTAMA                                                                    PIHAK KEDUA
Eko Arifin Yudi Darmanto                                                         Pemilik Rumah Kontraktor





Analisis

            Pada kontrak kerja tidak tercantumkan biaya pajak dari bangunan yang akan didirikan dan tidak adanya kontrak hari kerja dan waktu yang disepakati.   


Sumber :






Kamis, 26 Mei 2016

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA (VIDEO)


I. MATERI
Sistem : berarti suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional.
Pemerintahan : dalam arti luas adalah pemerintah/ lembaga-lembaga Negara yang menjalankan segala tugas pemerintah baik sebagai lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif.
Sistem Pemerintahan adalah sistem yang dimiliki suatu negara dalam mengatur pemerintahannya. Ada tiga jenis sistem pemerintahan yang terkenal dalam ilmu negara, yakni sistem parlementer dan sistem presidensial:
Pengelompokkan system pemerintahan:
1 . Sistem Pemerintahan Presidensial
Merupakan sistem pemerintahan dimana kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden dan pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (legislatif). Menteri bertanggung jawab kepada Presiden karena Presiden berkedudukan sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan.
Contoh Negara: AS, Pakistan, Argentina, Filiphina, Indonesia.
Ciri-ciri sistem pemerintahan Presidensial:
  1. Pemerintahan Presidensial didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan.
  2. Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatu dengan Legislatif.
  3. Kabinet bertanggung jawab kepada presiden.
  4. Eksekutif dipilih melalui pemilu.

2 . Sistem Pemerintahan Parlementer
Merupakan suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah (eksekutif) bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam sistem pemerintahan ini, parlemen mempunyai kekuasaan yang besar dan mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Menteri dan perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen.
Contoh Negara: Kerajaan Inggris, Belanda, India, Australia, Malaysia.
Ciri-ciri dan syarat sistem pemerintahan Parlementer:
1. Pemerintahan Parlementer didasarkan pada prinsip pembagian kekuasaan.
2. Adanya tanggung jawab yang saling menguntungkan antara legislatif dengan eksekutif, dan antara Presiden dan kabinet.
3.Eksekutif dipilih oleh kepala pemerintahan dengan persetujuan legislatif.
3 . Sistem Pemerintahan Campuran
Dalam sistem pemerintahan ini diambil hal-hal yang terbaik dari system pemerintahan Presidensial dan sistem pemerintahan Parlemen. Selain memiliki Presiden sebagai kepala Negara, juga memiliki perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
Contoh Negara: Perancis.
II. PROSES PEMBUATAN VIDEO
Anggota kelompok saya yaitu, Nazarul, Kinanti Asprila, dan saya Azhar Rahman.
Awalnya saya dan kelompok saya menentukan terlebih dahulu tempat yang ingin digunakan untuk kerja kelompok pengambilan video, dan akhirnya sepakat untuk kerja kelompok di Sport Center kampus H Gunadarma. Kelompok saya bekerja sama dengan kelompok lain yaitu kelompok yang beranggotakan Adhitya, Heri, dan Rifiana.
Pada hari H pembuatan video, kami semua sepakat berkumpul di Sport Center kampus H jam 9 pagi (yang akhirnya telat sampai jam 11 siang, hehehe). Setelah semua sudah kumpul, tiba-tiba teman saya Ilham Sulthony dari kelompok lain tiba-tiba datang tidak diundang, yang niatnya mau minta bantu mengerjakan tugas SK hehe. Tapi yang terjadi malah dia membantu kami mengerjakan video ini.
Setelah proses pengambilan video selesai, kelompok saya lalu membuat kesimpulan dari hasil wawancara beberapa mahasiswa dan kemudian lanjut ke proses editing yang dilakukan oleh saya dan dibantu oleh ilham agar video ini tampilannya lebih menarik.
Inilah hasil dari tugas kelompok kami, kurang lebihnya mohon maaf. Sekian, dan Terima Kasih:)