BAB 2
PENDAHULUAN
2.1 Gedung Cornelis
Saat pemerintahan Jepang di Indonesia, gedung Cornelis digunakan sebagai markas tentara Jepang di Jatinegara. Setelah kemerdekaan, gedung Cornelis digunakan sebagai gedung Korem, dan beralih fungsi lagi menjadi gedung Kodim 0505. Saat masih berfungsi sebagai Kodim, maka dibangun rumah dinas dengan tambahan dua bangunan memanjang, serta bangunan masjid di belakang. Terlepas dari kondisinya sekarang, di situlah sejarah Jatinegara bertutur dengan segala haru birunya.
Sebagian besar orang tua di Jatinegara menyebut gedung Cornelis dengan sebutan gedung Ren atau gedung Papak. Tapi tak sedikit juga orang mengenalnya sebagai ‘kodim lama’. Kini gedung yang dulunya tampak mewah dan megah, telah direnovasi dan akan berubah fungsi menjadi sebuah Pusat Kebudayaan Betawi. Sebuah gedung yang pernah sarat dengan aktivitas militer segera berubah jadi arena lenong.
Hampir setahun terakhir, gedung penting dalam sejarah perkembangan Jakarta ini kembali putih bercahaya. Sebelumnya, gedung ini terbengkalai setelah otoritas militer meninggalkannya pada 2005. Kondisinya kusam, atapnya nyaris roboh. Peminat dan pemerhati sejarah prihatin karena gedung itu merupakan cagar budaya, pernah jadi kediaman Meester Cornelis. Renovasi gedung yang terletak 50 meter dari seberang stasiun Jatinegara itu belum sepenuhnya selesai, karena bagian belakang gedung masih terlihat belum diperbaiki. Bagian dalam gedung pun masih kosong. Rencananya proses perbaikan akan dilanjutkan oleh pemerintah pada akhir 2012.
2.2 Upaya Mempertahankan Bangunan Cagar Budaya
Bangunan Cagar
Budaya adalah sebuah kelompok bangunan bersejarah dan lingkungannya, yang
memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan nilai sosial budaya masa kini
maupun masa lalu (Burra Charter, 1992: 21). Pada dasarnya dasar pelakasanaan
konservasi bangunan arsitektur cagar budaya mengacu pada rambu - rambu
kebijakan secara nasional dalam bentuk peraturan perundang - undangan cagar
budaya dan peraturan terkait lainnya, maupun peraturan - peraturan yang
dikeluarkan yang diberlakukan secara regional, misalnya Pemda DKI
Jakarta.
Dalam
mempertahankan bangunan cagar budaya terdapat rambu - rambu dan kebijakan dalam
pelaksanaannya, yang diatur secara peraturan perundang - undangan. Salah
satunya adalah Undang-undang No.11
tahun 2010 tentang cagar budaya;
Pasal 83 yang
menyatakan :
1. Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya
dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap
mempertahankan:
· - Ciri asli dan muka bangunan Cagar Budaya atau
Struktur Cagar Budaya.
· - Ciri asli lanskap budaya dan permukaan tanah situs
Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.
2. Adaptasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan :
· - Mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada cagar
budaya;
· - Menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;
· - Mengubah susunan ruang secara terbatas; dan
· - Mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli,
dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.
2.3 Tindakan Pelestarian
Terdapat beberapa
langkah – langkah dalam melestarikan Bangunan Cagar Budaya yaitu :
- Pelestarian
Dalam
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya,
pengertian Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar
Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya.
Dalam
Undang - Undang tersebut di atas, lembaga yang diberi fungsi
untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda,
bangunan atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya atau yang
bukan Cagar Budaya, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat adalah museum.
Jika
kita menyoal pelestarian warisan kebudayaan, maka akan tiba pada pemahaman akan
sisi bendawi dan bukan bendawi dari sebuah warisan. Dalam prakteknya,
pendekatan secara holistik pelestarian bendawi dan bukan bendawi
menimbulkan kerumitan tersendiri karena kedua unsur tersebut memiliki karakter
yang berbeda. Sebuah warisan bendawi, sebut saja sebuah bangunan bersejarah,
lebih mudah untuk dikatalogisasi, lalu menerapkan tindakan - tindakan
pelindungan yang bersifat konservasi dan restorasi pada fisik bangunannya.
Warisan bukan bendawi, di lain pihak membutuhkan pendekatan yang lebih dalam
karena melibatkan pelaku (manusia), kondisi sosial dan lingkungan yang sangat
cepat berubah bila dibandingkan dengan bangunan itu sendiri.
Keterlibatan
masyarakat atau komunitas masyarakat di sekitar warisan bendawi dalam segi
pelindungan sangat dibutuhkan, karena dalam banyak kasus, kerusakan dini yang
luput dari perhatian bermula dari ketidaktahuan atau ketidakpedulian masyarakat
sekitar. Vandalisme, penjarahan, perusakan Cagar Budaya merupakan contoh yang
nyata.
Kesulitan
dalam segi pelindungan bukan bendawi adalah manakala terdapat konsep sejarah di
dalamnya. Menurut Drs. I Made Purna, M.Si., seorang peneliti pada BPSNT
Bali, dalam memahami sejarah bangsa tercakup dua pengertian di dalamnya yaitu
masa lampau dan rekontruksi tentang masa lampau. Masa lampau hanya terdapat
dalam ingatan orang - orang (ingatan kolektif) yang pernah mengalaminya.
Kenyataan ini baru bisa diketahui oleh orang lain apabila diungkapkan kembali
dengan adanya komunikasi dan dokumentasi yang menjadi kisah atau gambaran
tentang peristiwa masa lampau.
- Pengembangan
Pengembangan
dalam Undang - Undang Cagar Budaya adalah peningkatan potensi nilai, informasi,
dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi
dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan
Pelestarian.
Masyarakat
atau komunitas dalam masyarakat dapat secara aktif bersama - sama dengan museum
dapat terlibat dalam tahap pengembangan sebagai bagian dari pelestarian.
Penelitian ilmiah dapat dilakukan oleh berbagai pihak untuk menelisik dan menelaah
lebih lanjut tentang warisan bendawi dimaksud. Revitalisasi memungkinkan
masyarakat menikmati fungsi asal sebuah
Bangunan Cagar
Budaya sebagai contoh sebuah bangunan bersejarah yang kini berfungsi sebagai
kantor pemerintahan. Setelah dilakukan kajian ilmiah yang dapat di
pertanggungjawabkan, ternyata bangunan dimaksud merupakan fasilitas pertunjukan
pada masanya. Pada saat - saat tertentu, fungsi ini dapat dikembalikan seperti
semula dengan tetap menjunjung tinggi nilai - nilai pelestarian. Demikian juga
dalam soal Adaptasi, misalnya penambahan ruangan pada bangunan tersebut sesuai
dengan kebutuhan.
Unsur
- unsur publikasi Cagar Budaya dapat dikembangkan oleh masyarakat atau
komunitas masyarakat melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Publik
dapat menampilkan kegiatan - kegiatan promosi berupa pentas seni dan budaya.
- Pemanfaatan
Pemanfaatan
adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar - besarnya
kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya (UU Cagar
Budaya 2010). Dalam konteks pelestarian, pemanfaatan Cagar Budaya adalah mutlak
karena merupakan muara dari pelestarian. Salah satu tujuan Cagar Budaya
dilindungi dan dikembangkan ialah agar dapat dimanfaatkan. Pemanfaatannya dapat
berupa sarana pembelajaran, pusat rekreasi seni dan budaya, tempat diskusi
dan lain sebagainya. Pemanfaatan Cagar Budaya harus ditekankan pada elemen
pendidikan karena pemahaman tentang pelestarian itu lebih efektif dilakukan
dengan pendekatan pendidikan. Pemanfaatan lainnya dapat berupa kepentingan
ilmu pengetahuan, teknologi, pariwisata, agama, sejarah, dan kebudayaan. Peran
serta masyarakat dan komunitas turut andil besar dalam melestarikan kawasan
Cagar Budaya.
- Zonasi
Zoning
adalah suatu upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi dan sekaligus mengatur
peruntukan lahan, agar tidak terganggu oleh kepentingan lain yang terjadi
disekitarnya, yang oleh Callcott disebutkan bahwa zonasi merupakan suatu cara
atau teknik yang kuat dan fleksibel untuk mengontrol pemanfaatan lahan
pada masa datang (Callcott, 1989:38).
Pernyataan
yang dikemukaan oleh Callcott tersebut lebih di tekankan pada pengaturan dan
pengontrolan pemanfaatan lahan untuk berbagai jenis kepentingan yang diatur
secara bersama. Sementara dalam zonasi cagar budaya tujuan utamanya adalah
menentukan wilayah situs serta mengatur atau mengendalikan setiap kegiatan yang
dapat dilakukan dalam setiap zona. Dengan demikian maka zonasi cagar budaya
yang dimaksud dalam hal ini, memiliki cakupan yang lebih sempit dibanding
dengan pengertian yang dikemukakan oleh Callcott, namun memperlihatkan persaman
antara satu dengan yang lainya, yaitu masing - masing mengacu pada kepentingan
pengendalian dan pemanfaatan lahan agar dapat dipertahankan kelestarianya.
Zoning sangat penting contohnya saja jika cagar budaya berada dalam kawasan
kota, maka ancaman terbesarnya adalah aktifitas pembangunan kota yang
tidak mengindahkan peraturan pelestarian cagar budaya. Oleh karena itu,
penentuan strategi zoning harus bersifat aplikatif dan diupayakan dapat
mengakomodir berbagai kepentingan.
Zonasi
terhadap situs cagar budaya ini harus dilakukan dengan perspektif yang luas
untuk dapat menetapkan suatu sistem penataan ruang yang bijak dengan tetap
berpegang pada prinsip pelestarian tanpa merugikan pihak manapun. Hal ini
menjadi signifikan mengingat cakupan zonasi cagar budaya biasanya meliputi
sebuah wilayah yang cukup luas. Dengan demikian penentuan batas zona harus
mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara luas.
Azhar
Rahman
21314920
4TB06
Bangunan Cagar Budaya Gedung Cornelis
4/
5
Oleh
Unknown